Jakarta,SatupenaTv.com: Rasa nasi goreng pedas PKL kawasan supermegah di Kota Bekasi Jawa Barat, malam itu, tepatnya Rabu 21 Agustus 2024 sungguh sangat nikmat sekali. Harga terjangkau kawulo alit (rakyat kecil) yang memang daya belinya terbatas bahkan menurun saat ini. Pedagang kaki lima (PKL) yang jualan pun masih bisa senyum sumringah ketika ada pesanan nasi goreng.
Kawulo alit di negeri ini masih ingin bisa makan sehari-hari. Masih ingin keluarganya tidak kosong perutnya ditengah makin terhimpit kesulitan ekonomi. Mereka semua juga masih ingin hidup adem, ayem, tentrem walau, sekali lagi, makin kesulitan penuhi kebutuhan keluarga.
Itulah realitas hidup kawulo alit Indonesia. Mereka mayoritas penduduk di negeri ini. Jumlahnya ratusan juta, sangat jauh lebih besar dibandingkan segelintir elit negeri laksana antara bumi dan langit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bisa makan sepiring nasi goreng seharga Rp 13.000 atau bisa isi perut keluarga adalah hal sangat berarti bagi kawulo alit. Secangkir kopi harga Rp 3000,_ terseduh sungguh nikmat sekali penuh rasa syukur kepada Tuhan. Bahkan air mata deras menetes ketika anak-anak mereka bisa sekolah dan bisa rengkuh hidup lebih baik dan sejahtera.
Bisa hidup guyup, rukun, adem, anyem dan tentrem di sebuah gubug damai laksana surga jadi idaman mereka. Itulah harapan besar mereka, mayoritas penduduk di negeri ini. Bukan kondominium megah atau mobil mewah. Juga bukan “kursi empuk” yang bisa membuat dapatkan apa saja yang diinginkan.
Menyeduh secangkir kopi walau harganya Rp 3000 terasa nikmat sekali. Seakan harapan besar kawulo alit segera nyata adanya. Namun apa boleh di kata, saat ini secangkir kopi itu makin panas keadaannya. Bahkan bisa melepuhkan dan membuat “terbakar” setiap kulit dan mukosa saluran pencernaan yang dilaluinya.
Spontan ingat perjalanan khusus sepanjang Banda Udara Ngurah Rai Denpasar menuju Istana Tapak Siring Bali 26 Oktober 2018, enam tahun silam. “Membangun negeri ini harus berada pada voltage listrik 220 volt.
Jika lebih dari itu, akan kepanasan bahkan “terpanggang” bisa akibatkan robeknya kesatuan dan persatuan bangsa. Namun sebaliknya, ketika lebih rendah dari itu, rakyat, bangsa dan negeri ini bisa terjajah kembali. Terjajah oleh anak bangsa sendiri atau bangsa asing.
Suka atau tidak suka, saat ini kondisi negeri berada di atas 220 Volt. Atau secangkir kopi harga Rp. 3000 itu makin panas adanya. Ketika terus dibiarkan semakin panas akan menjadi pil pahit bagi negeri ini. Makin menperburuk himpitan ekonomi ratusan juta penduduk negeri ini.
Akankah kondisi negeri di atas 220 Volt ini, atau secangkit kopi harga Rp. 3000 yang makin panas itu menjelma jadi ancaman serius kosongnya isi perut ratusan juta rakyat di negeri negeri? Jawabannya ada di alur hukum alam semesta Tuhan.
Namun demikian, kita semua harus tetap optimis. Tetap bekerja dan berusaha sembari berdoa dan dekatkan diri kepada Tuhan yang sudah jadi sebuah keniscayaan sejak zaman leluhur bangsa ini.
Kita semua harus tetap bersatu, saling mendukung dan gotong royong yang merupakan bagian dari apa yang dilakukan di negeri ini sejak nenek moyang bangsa ini.
Dan kita semua harus terus berusaha dan berdoa kepada Tuhan, ora et labora. Serta meyakini bahwa politik negarawan ujung dan akhirnya berada di atas politik kekuasaan. Menjadi muara dari keselamatan negeri di ujung titik kulminasinya, jalani transisi melanjutkan tapakan jalan baru, ke era keadilan.
Coretan ini tidak ada maksud lain kecuali sekedar sebuah peng-ingat bagi kita semua. Peng-ingat untuk ratusan juta kawulo alit Indonesia. Peng-ingat bagi segenap kekuatan elemen bangsa. Tidak terkecuali, sebagai peng-ingat bagi segelintir elit negeri untuk wujudkan politik negarawan, ejahwantahkan amanat penderitaan rakyat dalam naungan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dibawah kibaran bendera Merah Putih dan Panji Bhineka Tunggal Ika.
Indonesia mampu asal mau, ora et kabora
Jakarta, 22 Agustus 2024.
Salam hormat dan doa kami, yang torehkan coretan ini kepadarakyat dan bangsa Indonesia,
dr. Ali Mahsun Atmo, M.Biomed.
Presiden Kawulo Alit Indonesia (KAI)
Laporan: Gus