Jakarta – Baru-baru ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengajukan permintaan kepada Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Qanun KKR Aceh, yang bertujuan mengungkap kebenaran, mempromosikan rekonsiliasi, dan menanggulangi dampak konflik bagi masyarakat Aceh, telah menjadi salah satu upaya Aceh untuk mengatasi luka masa lalu akibat konflik panjang yang melibatkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat. Namun, permintaan Kemendagri ini memicu reaksi yang beragam dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan aktivis perdamaian di Aceh.
Salah satu tanggapan yang menarik datang dari Dr. Iswadi, M.Pd., seorang akademisi yang juga politisi asal Aceh yang selama ini aktif dalam isu-isu pendidikan dan sosial secara nasional . Dalam pandangannya, Dr. Iswadi menyampaikan bahwa pencabutan Qanun KKR Aceh bukan hanya langkah yang kontroversial, tetapi juga berpotensi mengabaikan aspek keadilan bagi para korban konflik. Dia menilai bahwa permintaan ini perlu dipertimbangkan dengan lebih bijaksana agar tidak merusak proses rekonsiliasi yang sudah berjalan di Aceh.Hal tersebut disampaikan , Dr. Iswadi, M. Pd. kepada wartawan, Rabu 13 November 2024
Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut mengatakan Qanun KKR Aceh lahir dari kebutuhan mendesak masyarakat Aceh untuk menyelesaikan konflik yang terjadi selama puluhan tahun. Konflik ini menimbulkan dampak yang luar biasa bagi masyarakat, mulai dari kehilangan nyawa, kerusakan infrastruktur, hingga trauma psikologis yang mendalam. Sebagai bagian dari kesepakatan damai antara GAM dan pemerintah pusat yang dituangkan dalam MoU Helsinki tahun 2005, Aceh diberikan kewenangan untuk membentuk KKR sebagai mekanisme yang berfungsi untuk mengungkapkan kebenaran dari berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik berlangsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dr. Iswadi menyebut bahwa peran KKR sangat penting untuk mengakomodasi aspirasi korban konflik, memberikan ruang untuk berbicara, serta mendorong langkah-langkah penyelesaian yang damai. “KKR bukan hanya soal mengungkap kebenaran, tetapi juga memberi rasa keadilan kepada para korban dan keluarganya,” ujar Dr. Iswadi. Ia menambahkan, jika qanun ini dicabut, maka banyak korban konflik yang telah menanti keadilan akan merasa dikhianati.
Menurut Pria Asli Aceh tersebut
Permintaan Kemendagri untuk mencabut Qanun KKR Aceh didasarkan pada alasan bahwa kewenangan KKR adalah bagian dari kewenangan nasional dan bukan kewenangan daerah. Namun, Dr. Iswadi berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu kaku dalam menafsirkan kewenangan antara pusat dan daerah. Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus, menurutnya, memiliki hak untuk menjalankan mekanisme yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokalnya.
Dr. Iswadi menyoroti pentingnya kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah sosial di Aceh. Baginya, pencabutan qanun ini akan memutus mekanisme lokal yang telah berhasil membangun kepercayaan masyarakat. “Mengabaikan peran qanun dalam mempromosikan rekonsiliasi adalah bentuk pengabaian terhadap keunikan kebutuhan Aceh yang tidak dapat disamakan dengan daerah lain di Indonesia,” jelasnya. Ia juga menyatakan bahwa rekonsiliasi bukan hanya sekadar kepentingan hukum, tetapi juga menyangkut psikologi sosial dan hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran masa lalu.
Dr. Iswadi menyampaikan kekhawatiran bahwa pencabutan Qanun KKR dapat mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya rekonsiliasi dan penyelesaian konflik di masa depan. Dalam pandangannya, selama ini masyarakat Aceh masih menyimpan trauma konflik yang mendalam, dan qanun ini adalah salah satu jalan untuk mengobati luka-luka tersebut. Jika qanun ini dicabut, maka akan muncul potensi ketidakpuasan yang bisa berujung pada kembalinya rasa ketidakadilan yang pernah dirasakan masyarakat.
Selain itu Proses rekonsiliasi memerlukan waktu dan ketekunan, dan pencabutan Qanun KKR akan menjadi langkah mundur dalam proses ini,” kata Dr. Iswadi. Ia mengingatkan bahwa masyarakat Aceh membutuhkan kepastian bahwa pemerintah pusat menghormati mekanisme lokal yang telah dibangun dengan susah payah. Meskipun KKR nasional juga memiliki peran, namun konteks lokal Aceh yang unik memerlukan mekanisme khusus yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat setempat.
Dr. Iswadi juga menyerukan agar pemerintah pusat dan pemerintah Aceh mengadakan dialog terbuka untuk mencari solusi terbaik terkait polemik ini. Ia mengusulkan agar kedua belah pihak duduk bersama, tidak hanya untuk membicarakan aspek legal, tetapi juga untuk mendengarkan aspirasi korban dan masyarakat Aceh secara umum. Bagi Dr. Iswadi, pendekatan yang mengedepankan dialog akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan mengambil kebijakan sepihak yang berpotensi merusak proses yang sudah berjalan.
Menurutnya, Qanun KKR telah memberikan harapan baru bagi masyarakat Aceh dalam memperjuangkan hak-haknya dan menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. “Jika qanun ini dianggap perlu direvisi, maka revisi tersebut harus dilakukan bersama-sama dengan melibatkan berbagai pihak, terutama perwakilan masyarakat yang terdampak langsung oleh konflik,” ujarnya.
Dr.Iswadi menegaskan Sebagai wilayah dengan otonomi khusus, Aceh memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu yang berbeda dari daerah lain. Hal ini, menurut Dr. Iswadi, adalah bagian dari penghargaan pemerintah pusat terhadap sejarah dan keunikan Aceh. Ia berharap agar pemerintah pusat dapat lebih bijaksana dalam melihat konteks kewenangan yang diberikan pada Aceh melalui perjanjian damai.
Dr. Iswadi juga menekankan bahwa qanun ini bukan hanya aturan hukum, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap proses penyembuhan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh sendiri. Baginya, Qanun KKR merupakan perwujudan dari janji negara untuk menghormati hak-hak korban dan memberikan kesempatan bagi masyarakat Aceh untuk memulihkan dirinya pasca-konflik.
Permintaan Kemendagri untuk mencabut Qanun KKR Aceh menimbulkan respons yang mendalam dari kalangan akademisi dan masyarakat Aceh, seperti Dr. Iswadi, M.Pd. Dalam pandangannya, pencabutan ini akan merusak proses rekonsiliasi dan menghancurkan harapan para korban konflik. Ia menyerukan agar pemerintah pusat dan Aceh dapat berdialog untuk menemukan solusi yang mempertimbangkan aspek hukum, keadilan, dan kearifan lokal.
Dengan demikian, proses rekonsiliasi dapat berjalan seiring dengan rasa keadilan dan penghormatan terhadap sejarah masyarakat Aceh. Pencabutan Qanun KKR tidak hanya masalah hukum, tetapi juga menyangkut hak-hak dasar masyarakat yang harus dihormati demi mencapai perdamaian yang sejati.