Aceh,satupenatv.com
Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Tasrizal, perlu kajian mendalam terkait arahan Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mencabut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh. Tasrizal menilai bahwa pencabutan qanun tersebut dapat merugikan upaya rekonsiliasi dan hak-hak korban konflik yang diatur dalam MoU Helsinki.
“Kami sangat menyesalkan arahan ini, karena Qanun KKR Aceh merupakan landasan hukum yang penting dalam proses rekonsiliasi pasca-konflik. Pencabutannya akan merugikan korban yang sudah menunggu keadilan,” ujar Tasrizal dalam keterangan persnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perspektif Hukum: Kekuatan Legitimasi Qanun KKR Aceh
“Qanun KKR Aceh dilahirkan sebagai bagian dari implementasi MoU Helsinki yang disepakati antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005. Dalam MoU tersebut, terdapat komitmen untuk mengakui hak korban konflik, termasuk proses rekonsiliasi dan pemulihan. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang memberikan dasar hukum bagi Aceh untuk mengatur urusan pemerintahan termasuk pembentukan qanun yang berlaku di tingkat provinsi”.
Tasrizal menegaskan bahwa pencabutan qanun ini bertentangan dengan prinsip otonomi daerah yang diatur dalam UUPA dan melemahkan upaya pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi korban. “Pencabutan ini tidak hanya berpotensi merusak proses rekonsiliasi, tetapi juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menghormati perjanjian damai yang sudah disepakati,” tambahnya.
Pencabutan Qanun: Dampak Negatif bagi Korban
Pencabutan qanun KKR Aceh, menurut Tasrizal, akan menghentikan mekanisme hukum yang memberikan akses bagi korban konflik untuk mencari keadilan dan kebenaran. KKR Aceh telah berfungsi sebagai lembaga yang membantu menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis pada keadilan restoratif.
Tasrizal khawatir bahwa tanpa qanun ini, banyak korban yang tidak akan mendapatkan haknya dalam proses rekonsiliasi. “Bagaimana kita bisa berbicara tentang perdamaian tanpa memberikan hak kepada korban untuk mengungkapkan kebenaran dan mendapatkan ganti rugi? Qanun ini adalah payung hukum yang memberi ruang bagi proses tersebut,” jelasnya.
Seruan untuk Pertahankan Qanun KKR Aceh
Dalam menghadapi arahan Kemendagri tersebut, Tasrizal mengimbau masyarakat Aceh dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mempertahankan Qanun KKR Aceh. “Mari kita jaga keberlanjutan perdamaian ini dengan mendukung lembaga yang sudah kita bentuk. Qanun KKR Aceh adalah bukti komitmen kita dalam menghadirkan keadilan untuk para korban,” pungkasnya.
Tasrizal juga meminta pemerintah pusat untuk mempertimbangkan dengan seksama dampak pencabutan qanun ini terhadap masa depan perdamaian dan rekonsiliasi di Aceh, serta untuk menghormati kewenangan yang diberikan kepada Aceh berdasarkan UUPA.(**)