Dilansir dari mediaindonesia24.com
Aceh Tamiang-satupenatv.com
Tenggulun Konflik lahan yang dialami Alfian, seorang petani di Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, menjadi perhatian publik,Sengketa muncul setelah adanya klaim kepemilikan atas tanah seluas 4 hektare yang telah ia kelola sejak tahun 2001 berdasarkan pembelian dari seseorang bernama Rahmat, lengkap dengan bukti pembayaran.
Tanah tersebut selama lebih dari dua dekade dikuasai dan digarap tanpa ada gugatan. Namun pada 2023, muncul klaim dari seorang mantan camat berinisial R, yang kini menjabat sebagai kepala salah satu dinas di lingkungan Pemkab Aceh Tamiang. R menyatakan tanah itu adalah miliknya berdasarkan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) tahun 2011 antara dirinya dengan M. Ali.
Pihak keluarga Alfian menyampaikan keberatan atas klaim tersebut karena selama 12 tahun tidak pernah ada penguasaan fisik maupun keberatan atas lahan itu dari pihak R. Warga dan sejumlah pihak menyayangkan munculnya klaim baru ini, terlebih karena pihak yang bersangkutan kini memegang jabatan publik yang strategis.
Untuk menyelesaikan persoalan, pihak desa memfasilitasi musyawarah antara kedua belah pihak dengan disaksikan oleh Bhabinkamtibmas dan Babinsa. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa tanah akan dijual kepada seorang pengusaha bernama Jumadi bersama mitranya dengan harga Rp 70 juta. Hasil penjualan akan dibagi dua dan dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Alfian dan R.
Namun, hingga berita ini ditulis, Alfian mengaku belum menerima bagiannya dari hasil penjualan tersebut, sementara pihak R disebut telah lebih dulu menerima pembayaran. Alfian berharap agar kesepakatan yang telah dibuat bersama dan disaksikan secara terbuka dapat dihormati dan dijalankan sebagaimana mestinya.
“Saya hanya ingin keadilan. Tanah itu sudah saya kelola sejak lama. Saya bukan orang yang punya kekuatan, tapi saya percaya hukum bisa berpihak pada yang benar,” ujar Alfian.
Keluarga Alfian juga mempertanyakan keabsahan dokumen SKGR tahun 2011 yang menjadi dasar klaim R, mengingat tidak ada penguasaan fisik atau tanda-tanda kepemilikan hingga sengketa muncul. Mereka berharap ada pemeriksaan lebih lanjut terhadap proses administratif yang melibatkan penerbitan dokumen tersebut.
Sementara itu, sejumlah wartawan yang mencoba menghubungi R untuk mendapatkan konfirmasi belum memperoleh tanggapan, baik secara langsung maupun melalui kantor tempat ia bekerja.
Kasus ini mencerminkan persoalan agraria yang kerap dialami petani kecil dalam menghadapi proses hukum dan administrasi yang kompleks. Alfian dan keluarganya masih berharap ada penyelesaian hukum yang adil dan transparan atas lahan yang telah lama mereka usahakan.
(RG)