Jakarta : Di balik dinding-dinding sekolah yang bersih, deretan seragam rapi, dan spanduk bertuliskan Pendidikan untuk Semua, tersembunyi kenyataan pahit bahwa pendidikan di Indonesia alih-alih menjadi alat pemerdekaan seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa telah menjelma menjadi alat reproduksi ketimpangan. Inilah gagasan yang diangkat oleh Dr. Iswadi dalam pemikirannya yang menggugah: Dari Kelas ke Kasta: Ketika Pendidikan Gagal Menjadi Alat Pemerdekaan
Pendidikan, idealnya, adalah tangga sosial yang memungkinkan siapa pun, dari latar belakang apa pun, untuk naik ke tingkat kehidupan yang lebih baik. Ia adalah medan emansipasi: tempat anak-anak dari kampung-kampung kecil bermimpi besar dan membangun masa depan. Namun, menurut Dr. Iswadi, yang justru terjadi adalah sebaliknya. Pendidikan kini lebih menyerupai sistem kasta tertutup, kaku, dan mengunci individu pada posisi sosial ekonomi tertentu.
Kritik ini berakar dari realitas lapangan yang tidak bisa diabaikan. Anak-anak dari keluarga kaya memiliki akses terhadap sekolah berkualitas, les privat, teknologi canggih, dan jaringan sosial yang kuat. Sementara itu, anak-anak dari keluarga miskin harus berjuang dengan keterbatasan: ruang kelas yang rusak, guru yang kurang, fasilitas seadanya, dan beban hidup yang memaksa mereka bekerja sambil belajar. Pendidikan, yang seharusnya menjadi penyeimbang, malah memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.
Dr. Iswadi menyebut fenomena ini sebagai transformasi kelas menjadi kasta. Dalam sistem kelas, mobilitas masih mungkin terjadi. Seorang miskin bisa menjadi kaya, asalkan ia bekerja keras dan memperoleh pendidikan yang layak. Namun dalam sistem kasta, posisi sosial diwariskan dan hampir mustahil untuk ditembus. Di sinilah letak kegagalan pendidikan: ketika ia tidak lagi menjadi alat mobilitas, tetapi malah mengabadikan status quo.
Salah satu akar masalahnya adalah komersialisasi pendidikan. Lembaga pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, semakin dikuasai oleh logika pasar. Sekolah-sekolah swasta unggulan memasang tarif selangit, menjadikan kualitas sebagai komoditas yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang mampu. Bahkan sekolah negeri pun mulai menerapkan biaya-biaya tersembunyi yang menyulitkan keluarga miskin. Sementara itu, program afirmatif dari pemerintah sering kali tidak tepat sasaran atau terbatas dalam jangkauannya.
Di sisi lain, kurikulum yang diajarkan pun cenderung menjauh dari realitas sosial siswa. Alih-alih mendidik untuk berpikir kritis, kreatif, dan solutif, sistem pendidikan justru lebih menekankan penghafalan, kepatuhan, dan pencapaian nilai akademis semata. Akibatnya, pendidikan kehilangan esensinya sebagai proses pembebasan: membebaskan individu dari kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.
Lebih jauh, Dr. Iswadi juga menyoroti peran guru yang kerap terpinggirkan dalam sistem ini. Guru, yang seharusnya menjadi agen perubahan, terkungkung dalam birokrasi yang kaku dan beban administrasi yang berlebihan. Banyak dari mereka yang frustrasi, kehilangan semangat, dan akhirnya menjalankan tugas hanya sebatas kewajiban, bukan panggilan. Ini semakin memperparah krisis pendidikan kita.
Namun, semua ini bukan tanpa harapan. Dr. Iswadi mengajak kita untuk kembali kepada makna sejati pendidikan: sebagai alat pemerdekaan. Pendidikan harus mampu membebaskan manusia, baik secara intelektual, emosional, maupun sosial. Ia harus menjadi ruang yang inklusif, adil, dan berorientasi pada pemberdayaan, bukan sekadar pencetak ijazah.
Untuk itu, dibutuhkan reformasi mendasar. Pertama, akses terhadap pendidikan berkualitas harus dijamin oleh negara, terutama bagi kelompok marjinal. Ini bukan sekadar soal membuka sekolah, tetapi memastikan mutu pengajar, fasilitas, dan dukungan ekonomi bagi siswa. Kedua, kurikulum harus dirancang agar relevan dengan kehidupan nyata, mendorong rasa ingin tahu, keberanian berpikir, dan semangat perubahan. Ketiga, guru harus diberdayakan sebagai subjek utama dalam pendidikanbdiberi pelatihan, penghargaan, dan ruang untuk berkembang.
Di tengah dunia yang kian kompetitif dan teknologi yang terus berubah, pendidikan tetap menjadi kunci. Tapi kunci ini hanya berguna jika mampu membuka pintu bagi semua, bukan hanya segelintir. Bila tidak, maka pendidikan akan menjadi ironi terbesar dalam sejarah bangsa ini: alat yang awalnya dimaksudkan untuk memerdekakan, kini justru memperkuat belenggu.
Dr. Iswadi telah mengetuk pintu kesadaran kita. Ia mengajak kita merenung, bertanya: Apakah pendidikan yang kita bangun saat ini benar-benar merdeka? Ataukah hanya berpindah nama dari kelas ke kasta? Saatnya kita menata ulang arah pendidikan bangsa bukan untuk kepentingan pasar, tetapi demi martabat manusia.