Jakarta – Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957 (IBI-K57) dengan Kosgoro 1957 menggelar diskusi publik nasional dengan tajuk” Menata Ulang Konsep Kesertakan Pemilu” Solusi legislasi pasca putusan MK 134/PUU-XXII/2024 di The Sultan Hotel Jakarta, Jum’at (18/07/25).
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak dalam waktu yang bersamaan.
Ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap: pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.
Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Dalam kesempatan ini, Ketua Majelis Pertimbangan Organisasai (MPO) Kosgoro 1957 HR Agung Laksono mengungkapkan adanya kegelisahan publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru terkait Pemilu.
Putusan MK tersebut menurutnya menimbulkan kebingungan dan dilema konstitusional yang serius.
Hal itu tidak hanya bagi penyelenggara pemilu tetapi juga bagi masyarakat dan pembuat kebijakan.
“Kalau dilaksanakan bisa melanggar konstitusi, tapi kalau tidak dilaksanakan juga bisa melanggar konstitusi. Tentu putusan itu harus kita sikap secara konstruktif dan dewasa,” kata Agung.
Agung mengatakan diskusi yang diselenggarakan Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957 (IBI-K57) dengan Kosgoro 1957 untuk mencari solusi terbaik.
Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti mengatakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI1/2024 tidak sesuai dengan Ketentuan yang ada dalam Konstitusi.
Putusan yang ada hanya bertujuan untuk putusan-putusan praktis, contoh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013, juga menyatakan bahwa kekuasaan pemda, bukan pada PEMILU.
Dengan demikian MK telah melanggar batas-batas etika, tidak etis. Hal ini menggambarkan MK melakukan penafsiran terhadap UUD Tahun 1945 tentang Pasal 22 E ayat (1), (2) UUD NRI Tahun 1945 serta Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945, secara tidak pas.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menetapkan Pemilu dilaksanakan untuk 5 Lembaga Negara (5 Kotak), yaitu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Anggota MPR RI, Rambe Kamarul Zaman menjelaskan, pasal 22 E ayat (1), (2), ayat (1): Pemilu dilaksanakan secara langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil setiap Lima Tahun sekali, (Perubahan 3)
Selanjutnya ayat (2) menyatakan PEMILU diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Perubahan 3).
“Norma ayat (1) & (2) adalah sangat jelas dan terang dan dapat kita pahami dan telah pula dilaksanakan,” ujarnya.
MK memutuskan keserentakan Pemilu karena sesuai dengan penafsiran Pasal 22E ayat 1, karena Pasal 18 ayat 3 dan 4 itu dinyatakan Pemda itu harus memiliki DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang harus dipilih melalui pemilu.
“Makanya saran saya mari kita lakukan perubahan UUD Pemilu, tetapi tidak harus membagi 2 tahapan karena akan semakin rumit. Yang kita khawatirkan kalau pilkada dibuat 2,5 tahun, lalu siapa yang melaksanakannya. Oleh karena itu kita jangan memaksakan hal tersebut. Final mengikat silahkan, namun mengikatnya di UU. Kalau di UUD 24 C itu adalah sekedar final, tapi kesimpulannya karena MK pun dari pengalaman dulu diputuskan begini, dan sekarang tidak. Artinya tidak permanen juga keputusan MK, makanya di UU MK MK harus diberikan batasan, agar tidak mengambil putusan diluar kewenangannya,” jelasnya.