Jakarta – Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto bukan sekadar peristiwa hukum biasa. Di balik keputusan ini, tersimpan sebuah pesan kepemimpinan yang mendalam bahwa bangsa yang besar bukanlah bangsa yang terus mengurung diri dalam konflik masa lalu, tetapi yang mampu membuka ruang rekonsiliasi dan bergerak maju demi kepentingan bersama.
Pandangan ini disampaikan dengan tegas oleh Dr. Iswadi, pakar pendidikan nasional dan pengamat kebijakan politik yang juga Ketua Umum Solidaritas Pemersatu Bangsa Indonesia (SPBI). Menurutnya, langkah Presiden Prabowo adalah cerminan dari visi kenegaraan yang matang dan berpijak pada nilai-nilai keadilan serta integrasi sosial. Keputusan ini bukan sekadar tindakan administratif. Ini adalah simbol besar dari kepemimpinan yang percaya pada penyembuhan luka bangsa melalui rekonsiliasi, ungkapnya.
Secara yuridis, abolisi berarti pembebasan dari hukuman terhadap individu yang telah dijatuhi pidana, sedangkan amnesti membebaskan seseorang dari tuntutan hukum sebelum atau selama proses peradilan. Dua tindakan ini memang berada dalam kewenangan konstitusional Presiden, namun pelaksanaannya tidak pernah terlepas dari pertimbangan etika, politik, dan hukum yang kompleks. Dr. Iswadi menyadari betul bahwa langkah semacam ini bukan tanpa risiko. Ia menyentuh area sensitif dalam sistem peradilan yang seharusnya dijaga independensinya. Namun justru di situlah, menurutnya, letak kekuatan pemerintahan.
“Ini bukan tentang mengabaikan hukum, melainkan menggunakan hak prerogatif Presiden untuk mendahulukan kepentingan nasional yang lebih luas yakni stabilitas, perdamaian politik, dan integrasi sosial,” jelas Dr. Iswadi. Dalam pandangannya, ada tiga alasan utama yang mendasari keputusan tersebut.
Pertama, rekonsiliasi politik. Dengan mengakhiri konflik hukum terhadap dua tokoh politik dari spektrum berbeda, Presiden membuka jalan bagi sinergi nasional yang selama ini terhambat oleh ketegangan antar-elite. Ini merupakan bentuk pengelolaan krisis politik yang mengedepankan dialog dan penghentian konflik, bukan penghakiman terus-menerus.
Kedua, penguatan solidaritas pemerintahan. Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dinilai memiliki kapasitas kontribusi dalam agenda pembangunan nasional. Melalui abolisi dan amnesti, pemerintah memberikan sinyal bahwa kesalahan masa lalu tidak menjadi alasan untuk menutup pintu partisipasi konstruktif dalam proses politik ke depan. Dalam iklim demokrasi yang sehat, setiap individu seharusnya diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan berkontribusi.
Ketiga, keputusan ini mencerminkan jiwa besar seorang pemimpin. Dr. Iswadi memandang bahwa Prabowo sedang menampilkan sisi kenegarawanannya pemimpin yang tidak terjebak dalam logika balas dendam, melainkan memilih jalan kedewasaan dan kebesaran hati. Di tengah polarisasi politik yang selama ini membelah bangsa, tindakan ini adalah pesan moral bahwa negara membutuhkan pemulihan, bukan perpecahan.
Namun demikian, Dr. Iswadi tidak menutup mata terhadap suara-suara kritis. Ia menyadari bahwa sebagian publik dan kalangan politik melihat langkah ini dengan kecurigaan. Apakah abolisi dan amnesti ini dapat merusak independensi hukum? Apakah ini bentuk impunitas terhadap pelanggaran yang belum tuntas diadili? Kekhawatiran semacam ini, menurutnya, sah dan harus dihargai sebagai bagian dari demokrasi.
Sebagai penyeimbang, ia menegaskan pentingnya transparansi. Keberanian Presiden harus diiringi dengan keterbukaan informasi kepada publik. Penjelasan mengenai alasan, mekanisme, serta kriteria pemberian abolisi dan amnesti sangat krusial agar masyarakat tidak salah paham, tegasnya. Tanpa komunikasi publik yang memadai, langkah strategis ini justru bisa menjadi bumerang dan menurunkan kredibilitas institusi hukum.
Dalam kerangka etis, Dr. Iswadi melihat keputusan ini sebagai bagian dari strategi kepemimpinan yang memanusiakan. Bahwa kesalahan adalah bagian dari perjalanan, dan memberi kesempatan untuk memperbaiki diri adalah nilai luhur yang harus dipelihara. “Abolisi atau amnesti bukan bentuk penghapusan kesalahan, tapi memberikan ruang perbaikan. Ini adalah praktik keadilan sosial yang berpihak pada kemanusiaan, katanya. Nilai-nilai Pancasila, menurutnya, menjadi dasar moral yang menghidupi keputusan ini.
Ia juga menekankan bahwa momentum ini seharusnya tidak berhenti sebagai langkah simbolik. Ini harus menjadi awal dari paradigma baru dalam hubungan antara politik dan hukum di Indonesia. Paradigma yang berbasis dialog, akuntabilitas, dan pemahaman bahwa stabilitas bangsa membutuhkan penyatuan kekuatan, bukan pelestarian permusuhan.
Dr. Iswadi mengajak seluruh komponen bangsa pemerintah, lembaga hukum, elite politik, dan masyarakat untuk memanfaatkan momentum ini sebagai investasi sosial-politik jangka panjang. Jika dijaga dengan baik, keputusan ini dapat menjadi fondasi bagi demokrasi yang lebih inklusif dan sistem hukum yang tetap kredibel.
“Kita tidak sedang bicara soal pengampunan biasa, tapi soal arah masa depan bangsa. Saat pemimpin memilih jalan rekonsiliasi dan memberi ruang bagi yang ingin berkontribusi, kita diajak untuk percaya bahwa keadilan dan persatuan bisa berjalan bersama,” pungkas Dr. Iswadi.