Jacob Ereste
Banten – Presiden Prabowo Subianto secar resmi telah memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Limbong dan amnesti untuk Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto. Konfirmasi yang diperoleh, keputusan ini dilakukan atas pertimbangan guna menjaga persatuan nasional menjelang hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, pada 17 Agustus 2025. Banten, senin (4 Agustus 2025)
Menurut Supratman Andi Agtas, Menteri Hukum dan Ham, pemberian abolusi dan amnesti untuk kedua tokoh tersebut berdasarkan pertimbangan kepentingan bangsa untuk kondusifitas nasional, katanya juga mempererat rasa persaudaraan antar anak bangsa, tandasnya.
“Salah satu yang menjadi dasar pertimbangan adalah, ingin menciptakan persatuan menjelang perayaan 17 Agustus 2045”, ujar Supratman Andi Agtas saat konferensi pers di Gedung DPR RI, Jakarta, hari Kamis, 3 Juli 2025. Menteri Hukum dan Ham juga mengungkapkan bahwa usulan abolisi dan amnesti dia ajukan sendiri sebagai Menteri Hukum dan HAM melalui surat resmi yang dia tanda tangani dan telah diketahui Presiden Prabowo Subianto.
Kecuali itu, pertimbangan pemberian abplisi dan amnesti, karena kedua tokoh tersebut memiliki rekam jejak dan kontribusi positif terhadap pembangunan nasional sebagai bagian dari faktor untuk pemberian abolusi dan amnesti yang diberikan itu.
Dukungan terhadap langkah Presiden Prabowo Subianto ini juga didukung oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad yang mengatakan bahwa DPR RI telah mengadakan rapat konsultasi bersama pemerintah yang telah menyetujui permohonan pemberian amnesti dan abolisi kepada Thomas Trikasih Limbong dan Hasto Kristiyanto.
Artinya, dengan pemberian abolisi tersebut, maka seluruh proses hukum terhadap Thomas Trikasih Limbong resmi dihentikan. Sedangkan amnesti untuk Hasto Kristiyanto terhapusnya hukum dan dipulihkannya hak-hak politiknya.
Dari keputusan amnesti dan abolisi ini pemerintah berharap menjadi simbol rekonsiliasi politik nasional dan tetap adanya semangat kebersamaan menjelang peringatan hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas keputusan amnesti dan abolisi ini, telah mengundang berbagai pendapat yang pro dan kontra. Seakan menambah kegaduhan publik yang semakin memanas, seperti masalah ijazah palsu yang tak kunjung terselesaikan, terutama oleh pemerintah melalui penegasan hukum yang lebih terkesan tarik menarik dan semakin meluas hingga melibatkan berbagai pihak, seperti institusi lembaga perguruan tinggi, tokoh dan sejumlah guru besar bahkan keterlibatan partai politik yang diduga oleh banyak pihak berada di belakang kegaduhan yang terkesan memang dibiarkan menjadi pengalih perhatian terhadap masalah yang lebih besar utamanya mengenai korupsi yang semakin marak serta desakan terhadap Wakil Presiden agar mundur, atau harus diturunkan secara paksa oleh rakyat.
Mulai dari Prof. Didik J. Rachbini menyoroti dampak dari abolisi yang diberikan pemerintah bagi Thomas Trikasih Limbong. Karena negara telah gagal memberi jaminan hukum yang konsisten, adil dan bebas dari campur tangan politik yang akan ditinggal oleh investor domestik dan investor asing. Karena dalam praktek hukum yang buruk akan mendorong meningkatnya biaya transaksi yang menjadi beban bagi dunia bisnis. Kecuali itu, politik yang disalahgunakan akan menjadi unsur jahat dalam demokrasi, seperti yang banyak bisa dilihat dalam praktik kriminalisasi yang menimpa sejumlah tokoh yang dianggap sebagai lawan politik.
Sedangkan bagi para pendukung pemberian abolisi dan amnesti dari Presiden ini justru mendapat apresiasi karena dianggap seperti yang diharap oleh rakyat yang berakal waras. Lantaran Prabowo Subianto dianggap berani keluar dari bayang-bayang dan cengkeraman atau Sandra Joko Widodo, sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap hancur liburnya Indonesia.
Analisis Refli Harun ini ketika membahas tekanan terhadap pemakzulan Gibran Rakabumin Raka.
Sedangkan Feri Amsari justru curiga ada sutradara dalam kasus Hasto Kristiyanto dan Thomas Trikasih Limbong “Pelakunya nomor pungung 7”, seperti yang terbuat dalam berbagai media, termasuk Repelita.net. Namun, Nobel Baswedan selaku penyidik ahli kasus korupsi sangat merasa kecewa lantaran ambesti dan abolisi digunakan untuk perkara korupsi. Karena khusus untuk kasus yang telah menjadi penyakit akut di Indonesia yang semakin parah sekarang ini, seharusnya disukai oleh pemerintah dan DPR RI bagaimana caranya memberantas korupsi yang lebih efektif dan tegas. Sebab yang harus dilakukan memperkuat lembaga pemberantasan korupsi. Tidak menyelesaikan perkara korupsi secara politis, apalagi ada kesan membiarkan Kisi Pemberantasan Korupdi (KPK) semakin lemah tidak berdaya.
Sementara pihak yang lain — seperti bisa disimak dalam pengungkapan dari media sosial yang marak — menduga sebagai kompromi politik model terbaru untuk membersihkan sisa-sisa kekuasaan yang telah usang agar dapat segera dibersihkan sebagai penghambat pembangunan yang harus berjalan. Atau sebaliknya — datu sisi yang lain — untuk sekedar mencari aman belaka, tampa harus menanggung dosa warisan yang sengaja di tanam di taman Istana.(**)