Opini – Kabar tidak menyenangkan bagi pendamba kebebasan kembali berhembus dari salah satu kampus di Aceh. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa gejala pembatasan kebebasan akademik terjadi di UIN AR-RANIRY, yaitu pembatalan izin nobar film dokumenter “Pesta Oligarki” yang diadakan oleh HIMATARA, Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara, FSHI UIN Ar Raniry.
Jika benar, kabar ini sungguh sangat disayangkan. Di kampus yang selama ini terkenal sebagai tempat dilahirkannya para pemikir dan aktivis kritis di Aceh seperti Muhammad Nazar, Kautsar Muhammad Yus, Muhammad Taufik Abda, dkk malah menjadi penghambat kebebasan akademik.
Pembatalan acara nonton bareng (nobar) film dokumenter Pesta Oligarki yang diagendakan oleh Himatara UIN Ar-Raniry sejatinya harus dilihat lebih dari sekadar keputusan administratif.
Jika ditilik lebih jauh Ini adalah sebuah signal dari sesuatu yang jauh lebih besar, yaitu pergeseran peran kampus, dari ruang kebebasan intelektual menjadi sarang ketakutan akan pikiran merdeka. Sangat disayangkan di saat ketika kita seharusnya makin dekat dan makin kukuh membela demokrasi, kampus sebagai garda depan ruang akademik justru berbalik mengunci pintu-pintu kebebasan.
Apakah ini kampus yang merdeka? Sebagaimana yang selama ini sering dikampanyekan? Atau, lebih tepatnya, apakah ini kampus yang memerdekakan?
Kampus, pada hakikatnya, bukan sekadar gedung berisi ruang kelas dan laboratorium. Ia adalah mimbar tertinggi tempat ide diperdebatkan, tempat pikiran dipertentangkan dengan suara lantang tanpa takut. Tempat setiap individu diuji dan menempa kebebasan berpikir. Namun, ketika nobar film ini dilarang, secara tidak langsung ada pesan tersirat yang disampaikan ke mahasiswa, yaitu jangan berpikir di luar batas, jangan berdiskusi yang tidak sesuai arus, jangan mencoba menjadi kritis, tetaplah menjadi pribadi-pribadi yang taat dan lugu.
Sesunggunya jika kebebasan dan kemerdekaan berdiskusi dan berdebat ini dipangkas, kampus telah mengkhianati dirinya sendiri sebagai wadah untuk melahirkan manusia merdeka. Kampus telah bertransformasi menjadi tak lebih dari sekedar pabrik pencetak budak-budak naif layaknya robot yang sekadar mengikuti arahan dari pemegang remote, bukan mencetak pemikir dan intelektual merdeka dan kritis.
Pesta Oligarki, dokumenter berdurasi 53 menit, sebenarnya hanyalah salah satu bentuk eksplorasi kritis terhadap demokrasi di Indonesia. Film ini membawa perspektif dari tokoh-tokoh intelektual, seperti Muhammad Isnur dari YLBHI, Eko Prasetyo dari Social Movement Institute, hingga akademisi hukum ternama seperti Prof. Sigit Riyanto, Guru Besar Hukum Tata Negara, FH UGM.
Mereka mengangkat isu tentang ambang batas pencalonan presiden yang dianggap menutup peluang calon alternatif, praktik politik transaksional, hingga janji kampanye yang sering hanya jadi hiasan, bukan realisasi. Film ini menggambarkan ironi demokrasi kita, pesta yang harusnya jadi perayaan rakyat, justru berubah menjadi arena pesta oligarki. Ironisnya, kampus tidak meresponnya dengan cara yang demokratis, apalagi kritis, melainkan dengan membatasi.
Sebagai alumni saya merasa sangat sedih dengan kenyataan ini. Sekontroversi apapun ide dan pesan yang disampaikan oleh sutradara penggarap film tersebut seharusnya kampus tetap memberi ruang dan jika perlu para Intelektual yang ada di sana memfasilitasi mahasiswa untuk berdebat dan bersilang pendapat secara merdeka dan terhormat. Karena sudah semestinya Kampus sebagai rumah intelektual menjadi tempat di mana kontroversi tidak hanya diterima, tetapi dihargai.
Sebaliknya jika wacana kritis dilarang, kampus secara tidak langsung mengerdilkan intelektual yang harusnya merdeka. Keterbukaan pada perbedaan adalah fondasi dari ilmu pengetahuan.
Pemikiran yang beragam, sekontroversial apapun itu, perlu dibahas, dibedah, didebatkan di sana. Dari situ, mahasiswa belajar bahwa kebenaran bukan dimonopoli oleh satu pihak dengan warna yang dama, dan saya yakin kebijaksanaan akan lahir dari perbedaan-perbedaan dan perdebatan-perdebatan secara terbuka tersebut.
Jika kampus tak lagi merdeka, maka jangan heran jika yang dilahirkannya bukan manusia merdeka. Sebaliknya, yang keluar dari sana hanyalah manusia yang patuh, yang tunduk pada instruksi, tanpa pernah berani bertanya apalagi memperdebatkan. Ini bukan lagi era Orde Baru, jangan sampai hal-hal seperti ini malah memperburuk citra pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo, seakan pembatas ini menjustifikasi tudingan “miring” yang selama ini diarahkan ke Prabowo bahwa ia akan otoriter dan antidemokrasi, ini tentu sangat merugikan citra pemerintah.
Saya sendiri masih sangat berhusnuddhan bahwa Presiden Prabowo yang sudah lama meninggalkan kehidupan militer sangat terbuka untuk segala perbedaan pendapat, apa lagi ini terjadi di dunia kampus, semoga ke depan tidak ada lagi pengekangan-pengekangan seperti ini, agar kita semakin merdeka dan semakin mudah keluar dari ketertinggalan.
Penulis: Ramadhan Al Faruq (Alumini UIN Ar-Raniry)