Aceh,satupenatv.com
“Hai So tapileh kalinyo?” Tanya teman saya terkait Pilkada yang semakin dekat, “Kamo asai dijok meucok laju, pileh urusan dro maseng-maseng, singoh lheuh menang cet hana di peuduli le tanyo” jawab teman saya yang lainnya. Mungkin bukan saya saja yang pernah mendengar perbincangan semacam ini menjelang gelaran pemilu, baik pemilihan anggota legeslatif maupun pemilihan kepala daerah bahkan juga kepala desa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menjelang Pilkada 2024, masyarakat dihadapkan pada realitas maraknya politik uang, baik dalam bentuk paket sembako, barang elektronik, maupun langsung dalam bentuk uang. Fenomena ini semakin merajalela dan seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi kita. Namun, di balik praktik yang sekilas tampak menguntungkan bagi pemilih, politik uang sebenarnya menyimpan bahaya yang berpotensi menggerus kesejahteraan rakyat dan merusak sendi-sendi demokrasi.
“Politik uang menuntut kandidat untuk mengeluarkan biaya besar demi memperoleh dukungan, bahkan saya pernah mendengar teman saya mengatakan di daerah tertentu ada caleg DPRK yang menghabiskan hingga 1 Milyar namun belum juga berhasil meraih kursi DPRK, bayangkan saja untuk DPRA atau Bupati, Walikota dan Gubernur? tentu sangat mungkin lebih besar dari itu”.
Dalam sistem yang “mengharuskan?” pengeluaran tinggi, kandidat pun jika nantinya terpilih sangat berpotensi bahkan pasti akan terjebak pada tuntutan untuk mengembalikan modal. Jika modal ini berasal dari oligarki atau pihak-pihak dengan kepentingan ekonomi yang besar, maka setelah terpilih, kandidat akan merasa “berhutang” kepada mereka. Balas budi ini sering kali berujung pada mengorbankan kepentingan publik demi melayani kepentingan para sponsor.
Dampak buruk dari politik uang ini tentu sangat luas, misalnya akan semakin sedikit ruang bagi kandidat untuk menyuarakan aspirasi konstituen yang sesungguhnya. Sehingga nantinya kebijakan yang mereka buat saat berkuasa akan lebih condong untuk memenuhi tuntutan para pemodal.
Selain itu dampak lainnya dari politik dengan biaya besar adalah akan adanya tekanan untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan dan hal ini nantinya akan mendorong penguasa untuk menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modal termasuk melakukan korupsi. Artinya alih-alih berfokus pada kesejahteraan rakyat, politik uang malah akan mendorong terciptanya lingkaran setan yang memaksa para pemimpin terpilih untuk terus-menerus mencari cara “mengembalikan investasi” mereka.
Bukan hanya kesejahteraan rakyat yang terancam, namun juga kualitas pemerintahan itu sendiri. Misalnya, jika calon didanai atau disponsori oleh pebisnis tambang, maka kita tak perlu heran ketika kebijakan yang keluar adalah untuk mempermudah agenda yang diinginkan oleh pebisnis tambang, izin tambang menjadi semakin mudah dikeluarkan, meski harus mengorbankan keselamatan lingkungan dan masyarakat.
Begitu pula jika ada kandidat yang disponsori oleh kartel narkoba atau orang-orang yang terafiliasi dengannya maka bukan hal mustahil jika kebijakan anti-narkoba menjadi lemah, atau akan adanya intervensi hukum ketika ada bandar narkoba yang terjerat. Jika modal berasal dari pelaku bisnis impor-ekspor, maka akan lahir kebijakan perdagangan yang pro kepada orang yang mensponsorinya dan semakin mendhalimi pelaku ekonomi lokal, Impor beras di musim panen misalnya, dan berbagai kebijakan lainnya yang lebih menguntungkan mereka ketimbang kebutuhan lokal.
Pemilu yang semestinya menjadi wadah untuk mewakili suara rakyat, justru berubah menjadi ajang berebut kekuasaan bagi oligarki, inilah yang akan terjadi jika politik uang dibiarkan terus berkembang tanpa kontrol, publik yang menganggap bahwa mereka berhasil menipu politisi dengan mengambil semua yang mereka berikan maka pada saatnya akan menyesali pilihan mereka tersebut ketika layanan yang seharusnya mereka terima dari pemerintah sama sekali tidak mendapatkan perhatian yang layak, infrastruktur publik yang tak kunjung membaik, layanan kesehatan yang tak kunjung meningkat, pendidikan yang semakin mahal, fasilitas yang dibutuhkan petani yang tak kunjung dibangun dan lain-lain.
Tegasnya politik uang pada akhirnya hanya akan menciptakan pemerintahan yang bekerja bukan untuk rakyat, melainkan untuk segelintir elite yang mendanai kampanye mereka. Konsekuensinya bagi masyarakat sangat nyata, suara yang dijual dengan harga tertentu hari ini adalah awal dari kesulitan yang mereka hadapi di masa depan. Harga diri, hak untuk menyuarakan kepentingan, dan kesejahteraan jangka panjang dipertaruhkan demi imbalan materi sesaat.
Pilkada 2024 menjadi momen penting bagi masyarakat untuk menolak politik uang dan memilih pemimpin yang benar-benar berkomitmen untuk kepentingan bersama. Masa depan Aceh dan Indonesia, kesejahteraan kita semua, terletak pada keputusan ini.
Wahai Rakyat Aceh, Cerdas lah!