Opini,satupenatv.com: Hampir setengah abad yang lalu, perjuangan itu dimulai, sebuah perjuangan yang lahir dari keberanian untuk melawan ketidakadilan, diinisiasi oleh mendiang Tengku Hasan Tiro dan didorong oleh semangat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh.
Namun, kini setengah abad kemudian seiring berjalannya waktu, kita harus bertanya dengan jujur “apakah hakikat perjuangan itu masih menjadi pedoman dalam langkah kita hari ini?”
Hari ini, para pemimpin yang lahir dari rahim perjuangan “berdarah” itu, khususnya dari kalangan eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM), telah menjadi pemangku kekuasaan di berbagai tingkatan, baik di legislatif maupun eksekutif. Muzakkir Manaf sebagai panglima tertinggi (meski belum resmi) telah didapuk di kursi kekuasaan tertinggi di Aceh yaitu kursi Gubernur, ini adalah kali ke tiga kader GAM yang berhasil merebut Aceh satu setelah Irwandi (dua kali), Zaini Abdullah dan kini Muzakkir Manaf, di tingkat Kabupaten kota pun demikian banyak kader GAM maupun orang yang didukung oleh kader GAM telah berulang kali berkuasa dan kini kembali berkuasa sebagai Bupati dan Walikota.
Mereka harus menyadari sepenuhnya bahwa mereka sebagai kader GAM memikul amanah yang sangat besar, bukan hanya untuk menjaga marwah perjuangan, tetapi juga untuk merealisasikan janji-janji kesejahteraan yang menjadi cita-cita bersama. Jabatan yang diemban adalah buah dari kepercayaan rakyat yang menginginkan perubahan nyata, bukan sekadar simbolisasi atau nostalgia masa lalu.
Namun, perjuangan hari ini tidak lagi bisa bergantung pada simbol dan retorika, tidak sekedar himne dan bendera. Tapi perjuangan hari ini adalah perjuangan melawan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan pendidikan, dan ketimpangan ekonomi.
Perjuangan hari ini adalah menyediakan air yang cukup untuk petani, memastikan harga hasil tani yang adil, membuka lapangan pekerjaan untuk mengatasi persoalan pengangguran, dan memberikan akses pendidikan untuk mengatasi persoalan rendahnya SDM serta perjuangan memastikan tersedianya layanan kesehatan yang layak bagi semua lapisan masyarakat Aceh.
Milad ke-48 ini harus dilihat sebagai momen untuk merenungkan ulang makna dan hakikat perjuangan itu pernah digelorakan itu. Bukan sekadar mengenang, tetapi memperbarui komitmen dan kesungguhan dalam bekerja untuk “memerdekakan” rakyat Aceh dari kebodohan, ketertinggalan dan kemiskinan. Para pemimpin Aceh perlu menjadikan perjuangan ini sebagai langkah nyata, bukan sekadar kenangan yang dipuja-puja, apalagi alat untuk kepentingan politik sesaat.
Rakyat Aceh tidak membutuhkan lagi janji-janji yang tidak terealisasi. Mereka menunggu tindakan nyata, solusi konkret, dan komitmen sejati dari para pemimpin yang lahir dari perjuangan itu. Inilah saatnya membuktikan bahwa perjuangan selama ini bukan sekadar cerita heroik, melainkan sebuah perjalanan menuju kesejahteraan yang lebih baik bagi semua rakyat Aceh.
Mari jadikan Milad ke-48 ini sebagai momen kebangkitan, sebagai pengingat akan cita-cita luhur perjuangan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata. Jadikanlah kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama, karena sejatinya, itulah inti dari sebuah perjuangan kemerdekaan yang hakiki.
Penulis: Ramadhan Al-Faruq