Opini : Dalam perjalanan sejarah umat manusia, kekuasaan selalu menjadi medan tarik-menarik antara cita-cita luhur dan kepentingan pragmatis. Di tengah pusaran itu, idealisme sering kali hadir sebagai cahaya penuntun sebuah keyakinan akan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan integritas. Namun, ketika idealisme memasuki arena kekuasaan, ia kerap diuji, digoda, bahkan dihancurkan oleh realitas yang keras dan penuh kompromi.
Idealisme, pada hakikatnya, adalah kompas moral. Ia lahir dari dorongan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, dari keinginan tulus untuk membela kaum tertindas, dan dari harapan bahwa dunia dapat berjalan di atas prinsip-prinsip yang adil. Para pemikir besar seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, hingga Soekarno memulai langkah mereka dengan idealisme yang membara. Namun, tidak semua yang masuk ke ranah kekuasaan mampu mempertahankan nyala idealisme itu.
Kekuasaan adalah dunia dengan logika yang berbeda. Ia beroperasi berdasarkan kalkulasi, negosiasi, dan, tidak jarang, manipulasi. Dalam realitas ini, idealisme dianggap sebagai kelemahan, utopis, dan tidak efektif. Mereka yang terlalu kukuh pada prinsip sering dicap naif, bahkan dianggap ancaman oleh penguasa lain yang telah lama meninggalkan idealismenya. Maka tidak mengherankan bila banyak tokoh muda yang memulai kiprahnya sebagai aktivis dengan suara lantang, kemudian berubah wajah ketika telah duduk di kursi kekuasaan.
Fenomena ini terlihat jelas dalam praktik politik di banyak negara, termasuk Indonesia. Banyak tokoh politik yang awalnya dikenal vokal, kritis, dan penuh semangat reformasi, akhirnya tenggelam dalam arus pragmatisme setelah mendapatkan kekuasaan. Janji-janji perubahan yang dahulu diucapkan dengan meyakinkan, berubah menjadi slogan kosong atau bahkan dilupakan. Korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang kembali menjadi wajah sehari-hari pemerintahan, bahkan di era yang sebelumnya dijanjikan sebagai era reformasi.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya tidak sederhana. Pertama, kekuasaan menyediakan godaan yang sangat besar,uang, pengaruh, dan prestise. Kedua, sistem yang korup dan tidak transparan memaksa mereka yang ingin bertahan untuk ikut bermain dalam aturan main yang kotor. Ketiga, ada tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan yang tidak segan menyingkirkan siapa pun yang mencoba menegakkan idealisme. Dalam situasi seperti itu, mempertahankan idealisme bukan hanya sulit, tapi juga berbahaya.
Namun demikian, bukan berarti idealisme dan kekuasaan mustahil bersatu. Ada juga mereka yang berhasil menjaga komitmen moralnya bahkan ketika berada di puncak kekuasaan. Mereka ini adalah sosok-sosok langka, yang memilih jalan sunyi, kadang dianggap gila atau terlalu keras kepala, tetapi justru memberi inspirasi dan harapan. Mereka mengingatkan kita bahwa kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar: kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Di tengah situasi yang penuh ironi ini, muncul pertanyaan penting: apakah idealisme masih relevan dalam dunia kekuasaan yang penuh kompromi? Jawabannya: sangat relevan. Justru karena kekuasaan cenderung korup, idealisme dibutuhkan sebagai penyeimbang dan pengingat arah. Idealismelah yang menjadi benteng terakhir ketika sistem mulai menyimpang dari nilai-nilai dasar. Tanpa idealisme, kekuasaan akan kehilangan jiwa dan arah.
Namun idealisme pun harus matang. Ia tidak cukup hanya sebagai semangat muda yang meledak-ledak. Idealisme harus bersanding dengan kebijaksanaan, pemahaman akan realitas, dan kemampuan berstrategi. Sebab jika tidak, ia akan mudah dipatahkan atau diperalat. Dalam bahasa lain, idealisme yang matang adalah idealisme yang tahu kapan harus tegas dan kapan harus fleksibel, tanpa kehilangan prinsip dasarnya.
Menjaga idealisme dalam pusaran kekuasaan adalah perjuangan yang sunyi dan panjang. Ia tidak selalu dihargai oleh publik, apalagi oleh lawan politik. Tapi sejarah selalu mencatat mereka yang setia pada cita-cita luhur sebagai tokoh yang layak dikenang. Mereka mungkin kalah secara politik, tapi menang secara moral. Dan dalam jangka panjang, kemenangan moral itulah yang akan menjadi fondasi perubahan sejati.
Pada akhirnya, kekuasaan adalah ujian. Ia menguji bukan hanya kemampuan seseorang untuk memimpin, tapi juga kesetiaannya pada prinsip dan nilai. Di tengah hiruk-pikuk jabatan, tekanan politik, dan godaan materi, hanya mereka yang memiliki idealisme kuat dan teruji yang mampu berdiri tegak. Mereka adalah lentera dalam kegelapan, penunjuk arah bagi generasi mendatang.
Dalam pusaran kekuasaan, idealisme memang bisa terkikis. Tapi selama masih ada yang berani mempertahankannya, walau hanya segelintir, harapan untuk perubahan sejati akan tetap hidup. Dunia tidak akan berubah karena mereka yang kuat, melainkan karena mereka yang tidak pernah menyerah pada kebaikan, sekalipun berada dalam arus yang deras.
Penulis: Dr. Iswadi, M.Pd.
Dosen Universitas Esa Unggul Jakarta