Jakarta – Di tengah berbagai persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa ini, muncul seruan yang menggugah dari seorang pemerhati pendidikan nasional, Dr. Iswadi. Melalui sambungan telepon kepada awak media, ia menyampaikan pandangan tajam yang mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap kondisi kepemimpinan di sekolah-sekolah rakyat.
“Sekolah rakyat tidak butuh kepala sekolah yang hanya menempati jabatan. Sekolah rakyat butuh pemimpin yang mendidik,” tegas Dr. Iswadi.
Pernyataan tersebut bukanlah kritik kosong. Ia lahir dari kenyataan di lapangan, di mana masih banyak sekolah, khususnya di pelosok dan daerah tertinggal, mengalami stagnasi akibat dipimpin oleh figur yang tidak memiliki visi kepemimpinan pendidikan yang kuat. Kepala sekolah yang hanya menganggap jabatannya sebagai posisi administratif kerap terjebak dalam rutinitas birokrasi, jauh dari semangat mendidik yang seharusnya menjadi ruh utama institusi pendidikan.
Menurut Dr. Iswadi, seorang pemimpin pendidikan terutama di sekolah rakyat harus menjadi sosok inspiratif yang tidak hanya piawai dalam pengelolaan, tetapi juga mampu menciptakan iklim pembelajaran yang sehat, ramah, dan inklusif. Ia harus menjadi pendidik sejati yang memahami nilai-nilai pendidikan, berani mengambil keputusan yang berpihak pada peserta didik, serta mampu menjalin hubungan harmonis dengan guru, orang tua, dan masyarakat.
“Pemimpin di sekolah rakyat adalah tumpuan harapan masyarakat kecil yang percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan,” ujarnya. “Jika pemimpinnya lemah, apalagi hanya sibuk urusan administratif atau memburu proyek, maka anak-anak kita kehilangan kesempatan untuk tumbuh dengan baik.”
Kepemimpinan di sekolah, lanjutnya, bukan sekadar memantau absensi guru atau membuat laporan ke dinas. Itu hanya bagian kecil dari tanggung jawab. Hal yang lebih penting adalah bagaimana kepala sekolah mampu menjadi agen perubahan membangkitkan semangat belajar siswa, mendorong guru untuk terus berkembang, dan menjadikan sekolah sebagai pusat pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna.
Istilah sekolah rakyat yang digunakan Dr. Iswadi merujuk pada sekolah sekolah yang berada di wilayah pinggiran, tertinggal, atau berada dalam keterbatasan sosial ekonomi. Sekolah sekolah ini sering kali menjadi satu satunya harapan bagi anak anak dari keluarga kurang mampu. Di sinilah, menurutnya, makna pendidikan terasa paling nyata sebagai harapan, dan sebagai pintu masa depan.
Namun, keterbatasan sarana, minimnya dukungan kebijakan, serta lemahnya supervisi dan pendampingan membuat banyak sekolah rakyat tertinggal dalam kualitas. Dalam situasi seperti itu, kehadiran seorang kepala sekolah yang visioner dan berjiwa kepemimpinan menjadi sangat krusial. Kepala sekolah harus mampu memaksimalkan potensi yang ada, mencari solusi kreatif, dan membangun kolaborasi dengan berbagai pihak.
“Semua itu tidak akan mungkin terjadi jika kepala sekolah hanya melihat dirinya sebagai pejabat struktural, bukan sebagai pendidik dan pemimpin,” ujar Iswadi.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa untuk menjadi pemimpin yang mendidik, dibutuhkan karakter yang kuat, pemahaman mendalam tentang dunia pendidikan, dan keberpihakan yang nyata terhadap anak-anak sebagai peserta didik.
“Bukan soal gelar, bukan soal senioritas. Tapi soal jiwa kepemimpinan yang membumi,” tegasnya.
Ia juga mendorong agar proses seleksi kepala sekolah tidak semata-mata mempertimbangkan aspek administratif atau loyalitas politik. Yang jauh lebih penting adalah kompetensi kepemimpinan, integritas, dan rekam jejak dalam membina lingkungan pendidikan yang sehat.
“Kita sering melupakan bahwa anak-anak itu bukan statistik. Mereka manusia yang sedang tumbuh. Mereka butuh figur pemimpin yang menjadi panutan dan pembimbing,” tambahnya.
Menurut Dr. Iswadi, kepala sekolah rakyat yang ideal harus bersedia turun langsung ke ruang kelas, mendengarkan keluhan guru, berdialog dengan orang tua murid, serta membuka diri terhadap kritik. Ia juga harus senantiasa belajar dan beradaptasi demi memberikan yang terbaik untuk komunitas sekolahnya.
“Perubahan besar dalam dunia pendidikan harus dimulai dari kepemimpinan,” tegasnya. “Jika kepala sekolah memiliki orientasi yang benar, maka budaya belajar akan terbentuk dengan sendirinya. Guru akan termotivasi, siswa merasa dihargai, dan masyarakat akan lebih aktif terlibat dalam proses pendidikan.”
“Pendidikan bukan sekadar soal kurikulum,” pungkasnya. “Ia adalah proses hidup yang membentuk karakter manusia. Dan proses itu membutuhkan pemimpin yang hadir dengan hati, bukan hanya dengan stempel jabatan.
Di tengah kompleksitas tantangan pendidikan saat ini, seruan Dr. Iswadi menjadi pengingat yang penting. Bahwa pada akhirnya, keberhasilan pendidikan rakyat tidak ditentukan oleh kemegahan gedung atau kecanggihan teknologi, melainkan oleh kualitas manusia para pemimpin sejati yang bersedia mendidik, memimpin, dan melayani dengan hati.(**)