Jakarta – Ketika dunia pendidikan Indonesia tengah berjuang meningkatkan kualitas dan pemerataan akses, sebuah pernyataan dari tokoh politik, Dedi Mulyadi, mengguncang ruang diskusi nasional. Dalam sebuah forum terbuka, Dedi mewacanakan kebijakan penambahan jumlah siswa dalam satu kelas hingga 50 orang. Reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan, terutama akademisi. Salah satu yang paling lantang adalah Dr. Iswadi, pemerhati dan pakar pendidikan ternama dan dosen di sebuah perguruan tinggi ternama. Ia menyebut wacana tersebut sebagai sebuah tsunami pendidikan sebuah metafora kuat untuk menggambarkan potensi kehancuran sistematis yang dapat terjadi bila kebijakan itu diterapkan.
Dalam pandangan Dr. Iswadi, pendidikan bukanlah sekadar pengumpulan massa dalam ruang kelas. “Kualitas pendidikan bukan ditentukan dari seberapa banyak siswa yang bisa dimasukkan ke dalam satu ruangan, tapi dari seberapa besar perhatian yang bisa diberikan kepada tiap individu dalam ruangan itu,” tegasnya dalam sebuah wawancara. Ia menambahkan, bahwa dalam situasi ideal, jumlah siswa dalam satu kelas berkisar antara 20 hingga 25 orang, agar proses interaksi antara guru dan murid berlangsung efektif, manusiawi, dan penuh makna.
Wacana 50 siswa per kelas, menurutnya, merupakan bentuk pendekatan industri terhadap pendidikan memandang siswa sebagai produk massal, bukan individu yang memiliki karakter, potensi, dan kebutuhan berbeda. “Ini bukan pabrik sepatu. Ini ruang peradaban,” ujar Dr. Iswadi tajam.
Kekhawatiran Dr. Iswadi bukan tanpa dasar. Di banyak sekolah negeri di Indonesia, terutama di wilayah urban yang padat, kelasnkelas sudah sesak dengan 40 siswa atau lebih. Penambahan hingga 50 siswa akan menciptakan situasi yang jauh dari ideal: ruang yang makin sempit, suasana belajar yang bising, guru yang kelelahan, dan siswa yang kehilangan kesempatan untuk berinteraksi secara optimal.
“Ruang kelas bukan gudang. Guru bukan robot. Dan siswa bukan barang,” katanya. Dalam sistem seperti ini, kemampuan guru untuk mendeteksi potensi anak, memberikan pembinaan karakter, atau bahkan sekadar mengingat nama siswa, akan sangat terbatas. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat pendidikan holistik yang selama ini digaungkan pemerintah sendiri.
Dedi Mulyadi, dalam pernyataannya, berdalih bahwa peningkatan jumlah siswa per kelas adalah bentuk efisiensi. Ia berargumen bahwa dengan menambah kapasitas kelas, pemerintah bisa menghemat anggaran infrastruktur dan tenaga pengajar. Namun bagi Dr. Iswadi, argumen ini mencerminkan kegagalan dalam memahami esensi pendidikan.
“Jika efisiensi dilakukan dengan mengorbankan kualitas, maka itu bukan efisiensi itu eksploitasi,” ujar Iswadi. Ia menekankan bahwa pendidikan bukan sektor yang bisa diukur hanya dengan rumus penghematan. Pendidikan membutuhkan investasi jangka panjang: dalam infrastruktur, tenaga pengajar, kurikulum, dan terutama dalam menciptakan ruang aman dan kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Kritik lain yang dilontarkan Dr. Iswadi adalah soal lemahnya kajian akademik terhadap wacana kebijakan tersebut. Menurutnya, setiap kebijakan publik terlebih di bidang pendidikan harus berbasis data, riset, dan pengalaman empirik. “Bukan asal omong di depan media. Pendidikan ini menyangkut masa depan bangsa. Tidak bisa dirumuskan hanya dengan logika populis dan hitung-hitungan politik, sindirnya.
Ia juga menyoroti potensi dampak jangka panjang dari kebijakan ini: meningkatnya angka putus sekolah akibat ketidaknyamanan belajar, meningkatnya beban kerja guru yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental mereka, serta munculnya ketimpangan baru antara sekolah negeri dan swasta yang memiliki standar ruang kelas berbeda.
Di akhir pernyataannya, Dr. Iswadi menyerukan agar para pengambil kebijakan lebih bertanggung jawab dan melibatkan para ahli dalam proses pengambilan keputusan. Ia mengingatkan, bahwa nasib jutaan anak bangsa tidak bisa digadaikan demi kepentingan politik sesaat.
“Kalau ini terus dipaksakan, bukan hanya kualitas pendidikan yang runtuh. Kita sedang membangun generasi yang lahir dari sistem yang tidak adil sejak di bangku sekolah, pungkas Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut
Kritik tajam dari Dr. Iswadi bukan sekadar bentuk penolakan, tetapi panggilan moral agar pendidikan Indonesia tidak tergelincir dalam logika birokrasi dan politik jangka pendek. Di tengah arus tantangan global, yang dibutuhkan bukan ruang kelas yang makin padat, melainkan ruang pendidikan yang makin bermakna.(**)