Jakarta : Pendidikan adalah fondasi utama dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Di dalamnya, guru memegang peran vital sebagai agen perubahan dan pembentuk karakter generasi penerus. Namun, belakangan ini dunia pendidikan Indonesia diguncang oleh fenomena yang mengkhawatirkan pengunduran diri massal para guru, khususnya di sekolah sekolah rakyat yang umumnya berdiri di tengah keterbatasan. Peristiwa ini bukan sekadar insiden administratif, melainkan sebuah alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan.
Dr. Iswadi, M.Pd., seorang tokoh Pendidikan nasional ,dan pemerhati serta praktisi pendidikan, menegaskan bahwa pengunduran diri massal guru di sekolah rakyat merupakan sinyal bahaya yang tak bisa diabaikan. “Ini adalah alarm bagi dunia pendidikan kita. Guru bukan sekadar profesi, mereka adalah pondasi. Jika mereka memilih pergi, maka kita sedang menyaksikan retaknya fondasi tersebut,” ujarnya dengan penuh keprihatinan.
Menurut Dr. Iswadi, ada berbagai faktor yang mendorong guru-guru di sekolah rakyat memilih untuk mundur secara bersamaan. Salah satu penyebab utama adalah rendahnya kesejahteraan. Banyak guru honorer atau guru sukarelawan yang digaji di bawah upah minimum, bahkan ada yang hanya menerima honor berupa uang transport atau sekadar ucapan terima kasih. Situasi ini menciptakan tekanan ekonomi yang luar biasa, apalagi di tengah meningkatnya kebutuhan hidup.
Tak hanya itu, beban kerja yang tinggi tanpa dukungan yang memadai juga menjadi faktor penyebab. Di sekolah rakyat, guru tidak hanya mengajar, tetapi juga merangkap peran sebagai administrator, konselor, bahkan petugas kebersihan. Minimnya sumber daya manusia membuat peran guru menjadi multifungsi, yang dalam jangka panjang dapat menggerus motivasi dan kesehatan mental mereka.
Guru-guru kita lelah, bukan hanya karena fisik, tetapi juga secara batin. Mereka merasa perjuangan mereka tidak dihargai, tidak diperhatikan,” ungkap Dr. Iswadi.
Selain itu, tidak adanya kepastian karier juga menjadi batu sandungan besar. Banyak guru di sekolah rakyat yang tidak memiliki kontrak kerja yang jelas, tidak mendapatkan jaminan sosial, dan tidak memiliki akses terhadap pelatihan dan pengembangan profesi. Mereka berada dalam posisi yang rentan, dan ketika harapan untuk perbaikan tampak semakin jauh, keputusan untuk mundur menjadi pilihan terakhir yang pahit.
Peristiwa pengunduran diri massal ini seharusnya menjadi refleksi mendalam bagi pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan. “Kita sering bicara soal peningkatan kualitas pendidikan, tapi lupa bahwa kualitas itu bermula dari kualitas hidup guru. Tanpa memperbaiki nasib guru, peningkatan mutu pendidikan hanyalah ilusi, kata Dr. Iswadi tegas.
Dampak dari pengunduran diri massal guru tidak hanya dirasakan secara langsung oleh sekolah tempat mereka mengabdi, tetapi juga oleh murid-murid yang mereka tinggalkan. Anak-anak dari keluarga kurang mampu, yang mengandalkan sekolah rakyat sebagai satu-satunya akses pendidikan, kini terancam kehilangan haknya untuk belajar secara layak. Ketimpangan pendidikan pun semakin melebar.
Jika tidak segera diatasi, fenomena ini dapat merembet ke sekolah-sekolah lain dan memperparah krisis tenaga pendidik di Indonesia. Terlebih, di tengah wacana transformasi pendidikan nasional, hilangnya guru-guru yang berpengalaman dan berdedikasi tinggi justru bertentangan dengan semangat reformasi tersebut.
Dr. Iswadi menyerukan perlunya intervensi nyata dan cepat dari pihak pemerintah. Pertama, peningkatan kesejahteraan guru, terutama mereka yang berada di sekolah rakyat atau daerah terpencil, harus menjadi prioritas. Skema insentif khusus, pengangkatan guru tetap, serta akses terhadap jaminan sosial dan pelatihan berkala harus segera diterapkan.
Kedua, penting untuk memperkuat regulasi yang melindungi profesi guru secara menyeluruh, tanpa memandang jenis sekolah tempat mereka mengabdi. “Sekolah rakyat atau swasta kecil pun bagian dari sistem pendidikan nasional. Guru-gurunya layak mendapatkan perlindungan yang sama,” tegasnya.
Ketiga, perlu ada pendekatan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, sektor swasta, dan lembaga donor untuk mendukung keberlangsungan sekolah rakyat. Pendidikan anak bangsa tidak boleh hanya dibebankan kepada idealisme segelintir orang.
Fenomena pengunduran diri massal guru di sekolah rakyat bukan sekadar berita duka, tetapi peringatan keras bahwa sistem pendidikan kita sedang sakit. Dr. Iswadi, M.Pd., dengan lantang menyampaikan bahwa ini adalah momen untuk bertindak, bukan untuk saling menyalahkan. Guru harus dijaga, dihargai, dan diperjuangkan. Karena tanpa guru, tak akan ada masa depan yang bisa kita bangun bersama.